MALU Yang sebenarnya
Dalam perjalanan pulang menggunakan chikatetsu yang padat penumpang, tiba-tiba dari arah belakang terasa bahu saya ada yang mencolek. Semula tak saya gubris karena kemungkinan itu hanya sentuhan yang tidak disengaja antar desakan penumpang yang sama-sama sedang berdiri. Tapi ternyata colekan itu terasa berulang beberapa kali. Dengan rasa penasaran, saya palingkan wajah ke belakang dan tampaklah sosok yang belum saya kenal tersenyum ramah sambil berkata, "Maaf Sis... orang Malaysia atau Indonesia?"
Dengan sedikit berbisik, saya menjawab, "Orang Indonesia, Sis sendiri dari mana?"
"Wah, sama dong, seneng deh bisa ketemu temen sekampung di negeri orang," ujarnya melanjutkan sambil berusaha merapatkan diri di sebelah saya.
Dari sapaan singkat tersebut akhirnya kami saling berkenalan. Seperti seorang sahabat lama yang tak pernah bertemu, pembicaraan semakin lama semakin menghangat. Perjalanan panjang terasa berlalu cepat. Di tengah-tengah pembicaraan, sahabat baru saya tersebut kembali bertanya, "Sudah lama pake jilbab, Mbak?"
Dengan sedikit berbisik, saya menjawab, "Orang Indonesia, Sis sendiri dari mana?"
"Wah, sama dong, seneng deh bisa ketemu temen sekampung di negeri orang," ujarnya melanjutkan sambil berusaha merapatkan diri di sebelah saya.
Dari sapaan singkat tersebut akhirnya kami saling berkenalan. Seperti seorang sahabat lama yang tak pernah bertemu, pembicaraan semakin lama semakin menghangat. Perjalanan panjang terasa berlalu cepat. Di tengah-tengah pembicaraan, sahabat baru saya tersebut kembali bertanya, "Sudah lama pake jilbab, Mbak?"
"Saya kepengen deh pake jilbab, tapi masih malu, abis tetangganya orang Jepang semua," katanya melanjutkan dengan wajah serius.
Belum sempat saya menjawab pertanyaan tersebut, chikatetsu telah sampai di stasiun tempat tujuannya. Saat pintu terbuka, dengan tergesa sahabat tersebut segera beranjak turun sambil tak lupa melambaikan tangan diiringi senyuman.
Setelah kereta kembali bergerak, "deg!" saat itu saya baru sadar, saya dan sahabat baru tersebut belum sempat saling bertukar cara untuk tetap bisa saling berhubungan. "Ah... ada perasaan sesal yang mengganjal."
Padahal ingin sekali saya katakan, bahwa tidak perlu malu dengan pakaian taqwa ini. Saya justru bersyukur dengan berpakaian menutupi aurat. Banyak sekali kebaikan-kebaikan yang saya rasakan. Di saat musim dingin seperti di Jepang saat ini, ia dapat menghangati seluruh tubuh dari kepala hingga kaki, di musim panas kibaran-kibaran kecilnya yang terkena angin dapat menyejukan seluruh tubuh. Mode-nya dapat dipakai all season, tak lekang oleh pergantian empat musim.
Ingin pula saya ceritakan, beberapa keuntungan-keuntungan lain yang saya peroleh dengan menggunakan hijab ini. Salah satunya adalah tetangga dan lingkungan tempat saya tinggal lebih mengenal saya dengan ciri khas berpakaian yang berbeda dari mereka.
Oh iya, pernah suatu hari sehabis pulang belanja dengan bawaan berat, tiba-tiba dari arah belakang, seorang ibu menggunakan sepeda menyapa saya, "Omoi desune.....(berat yah)"
Belum sempat saya menjawab pertanyaan tersebut, chikatetsu telah sampai di stasiun tempat tujuannya. Saat pintu terbuka, dengan tergesa sahabat tersebut segera beranjak turun sambil tak lupa melambaikan tangan diiringi senyuman.
Setelah kereta kembali bergerak, "deg!" saat itu saya baru sadar, saya dan sahabat baru tersebut belum sempat saling bertukar cara untuk tetap bisa saling berhubungan. "Ah... ada perasaan sesal yang mengganjal."
Padahal ingin sekali saya katakan, bahwa tidak perlu malu dengan pakaian taqwa ini. Saya justru bersyukur dengan berpakaian menutupi aurat. Banyak sekali kebaikan-kebaikan yang saya rasakan. Di saat musim dingin seperti di Jepang saat ini, ia dapat menghangati seluruh tubuh dari kepala hingga kaki, di musim panas kibaran-kibaran kecilnya yang terkena angin dapat menyejukan seluruh tubuh. Mode-nya dapat dipakai all season, tak lekang oleh pergantian empat musim.
Ingin pula saya ceritakan, beberapa keuntungan-keuntungan lain yang saya peroleh dengan menggunakan hijab ini. Salah satunya adalah tetangga dan lingkungan tempat saya tinggal lebih mengenal saya dengan ciri khas berpakaian yang berbeda dari mereka.
Oh iya, pernah suatu hari sehabis pulang belanja dengan bawaan berat, tiba-tiba dari arah belakang, seorang ibu menggunakan sepeda menyapa saya, "Omoi desune.....(berat yah)"
"Kalau mau taruh saja bawaannya di sepeda ini," katanya melanjutkan.
Tentu saja saya terheran-heran karena merasa tidak mengenal ibu ini. Melihat keheranan saya, dengan spontan ibu tersebut menerangkan, bahwa ia adalah pemilik laundry tempat saya sering menitipkan cucian jas kerja suami. Ia mengenali saya dari cara berpakaian yang lain dari pada yang lain katanya.
Ada pula cerita lucu, suatu hari saat saya sedang asyik menunggu kereta, tiba-tiba seorang anak berusia sekitar lima tahun mendekati saya dan berkata, "Hantu... hantu!" sambil tersenyum menunjuk hijab yang saya kenakan.
Saya yang mendengar itu hanya bisa ikut tersenyum geli. Tapi tidak demikian dengan ibu dari sang anak tersebut. Mimik muka sang ibu terlihat kaget. Ia langsung mendekati saya dan berkata, "Maaf... maafkan anak saya... maaf," ujarnya penuh penyesalan sambil berkali-kali membungkukan badan.
Setelah meminta maaf, ibu muda tersebut mulai mengajak berbincang-bincang. Tak disangka dari kejadian seperti itu, akhirnya teman saya di Jepang ini bertambah lagi. Ibu muda tersebut dan anaknya menjadi salah satu teman baik saya hingga saat ini. Kami menjadi teman ngobrol di saat menunggu kereta tiba.
Sungguh sahabat, kita tak perlu memiliki malu yang berpatokan pada pandangan manusia. Itu hanyalah malu semu yang akan melahirkan sikap munafik. Tapi malulah hanya pada Allah. Karena Dialah yang Maha Melihat seluruh gerakan dan tingkah laku kita. Tidak ada tindakan yang luput dari pandangan-Nya. Semakin tinggi malu kita pada Allah semakin terjaga kita dari kesalahan. Inilah malu yang sebenarnya.
Seperti sabda Rasulullah SAW, ''Hendaklah kamu merasa malu kepada Allah SWT dengan malu yang sebenarnya.'' Para sahabat menjawab, ''Ya Nabiyullah, alhamdulillah kami sudah merasa malu.'' Kata Nabi, ''Tidak segampang itu. Yang dimaksud dengan malu kepada Allah SWT dengan sebenarnya malu adalah kemampuan kalian memelihara kepala beserta segala isinya, memelihara perut dan apa yang terkandung di dalamnya, banyak-banyak mengingat mati dan cobaan (Allah SWT). Siapa yang menginginkan akhirat hendaklah ia meninggalkan perhiasan dunia. Siapa yang telah mengamalkan demikian, maka demikianlah malu yang sebenarnya kepada Allah SWT.'' (HR Tirmidzi dan Abdullah bin Mas'ud).
Jika Allah mengizinkan, ingin sekali saya dapat bertemu kembali denganmu wahai sahabat. Akan saya ceritakan pengalaman-pengalaman di atas untukmu. Saya ingin meminta, "Jadikanlah saya salah seorang sahabatmu..." Sahabat yang dapat berjalan beriringan, saling membantu menepis malu semu yang kadang menyeruak dalam benak.
Percayalah sahabat, "Jika Allah menolong kamu, maka tak ada orang yang mengalahkanmu," begitu Allah SWT mengatakan dalam QS Ali Imran: 160.
Tentu saja saya terheran-heran karena merasa tidak mengenal ibu ini. Melihat keheranan saya, dengan spontan ibu tersebut menerangkan, bahwa ia adalah pemilik laundry tempat saya sering menitipkan cucian jas kerja suami. Ia mengenali saya dari cara berpakaian yang lain dari pada yang lain katanya.
Ada pula cerita lucu, suatu hari saat saya sedang asyik menunggu kereta, tiba-tiba seorang anak berusia sekitar lima tahun mendekati saya dan berkata, "Hantu... hantu!" sambil tersenyum menunjuk hijab yang saya kenakan.
Saya yang mendengar itu hanya bisa ikut tersenyum geli. Tapi tidak demikian dengan ibu dari sang anak tersebut. Mimik muka sang ibu terlihat kaget. Ia langsung mendekati saya dan berkata, "Maaf... maafkan anak saya... maaf," ujarnya penuh penyesalan sambil berkali-kali membungkukan badan.
Setelah meminta maaf, ibu muda tersebut mulai mengajak berbincang-bincang. Tak disangka dari kejadian seperti itu, akhirnya teman saya di Jepang ini bertambah lagi. Ibu muda tersebut dan anaknya menjadi salah satu teman baik saya hingga saat ini. Kami menjadi teman ngobrol di saat menunggu kereta tiba.
Sungguh sahabat, kita tak perlu memiliki malu yang berpatokan pada pandangan manusia. Itu hanyalah malu semu yang akan melahirkan sikap munafik. Tapi malulah hanya pada Allah. Karena Dialah yang Maha Melihat seluruh gerakan dan tingkah laku kita. Tidak ada tindakan yang luput dari pandangan-Nya. Semakin tinggi malu kita pada Allah semakin terjaga kita dari kesalahan. Inilah malu yang sebenarnya.
Seperti sabda Rasulullah SAW, ''Hendaklah kamu merasa malu kepada Allah SWT dengan malu yang sebenarnya.'' Para sahabat menjawab, ''Ya Nabiyullah, alhamdulillah kami sudah merasa malu.'' Kata Nabi, ''Tidak segampang itu. Yang dimaksud dengan malu kepada Allah SWT dengan sebenarnya malu adalah kemampuan kalian memelihara kepala beserta segala isinya, memelihara perut dan apa yang terkandung di dalamnya, banyak-banyak mengingat mati dan cobaan (Allah SWT). Siapa yang menginginkan akhirat hendaklah ia meninggalkan perhiasan dunia. Siapa yang telah mengamalkan demikian, maka demikianlah malu yang sebenarnya kepada Allah SWT.'' (HR Tirmidzi dan Abdullah bin Mas'ud).
Jika Allah mengizinkan, ingin sekali saya dapat bertemu kembali denganmu wahai sahabat. Akan saya ceritakan pengalaman-pengalaman di atas untukmu. Saya ingin meminta, "Jadikanlah saya salah seorang sahabatmu..." Sahabat yang dapat berjalan beriringan, saling membantu menepis malu semu yang kadang menyeruak dalam benak.
Percayalah sahabat, "Jika Allah menolong kamu, maka tak ada orang yang mengalahkanmu," begitu Allah SWT mengatakan dalam QS Ali Imran: 160.
Sumber : eramuslim.
Komentar
Posting Komentar