Geser Perspektif Cinta #2 (3 Bagian)
(Lanjutan)
“Kau anak muda yang bijak,” kata Jones;
kursinya bergoyang pelan. “Jelas kalian ini anak-anak cerdas—sekolah dan guru
yang baikakan melakukan itu untuk kalian—tapi kebijaksanaan adalah sesuatu yang
sepenuhnya berbeda. Kebijaksanaan bisa terkumpul pada waktu luang.
Kebijaksanaan yang bisa mengubah arah hidup kalian datang dari orang-orang
dengan siapa kalian bergaul, buku yang kalian baca, dan segala sesuatu yang
kalian dengar atau tonton di televisi atau kalian dengar di radio.”
“Tentu saja, tentu saja informasi buruk juga
terkumpul pada waktu luang kalian. Informasi buruk yang bisa mengubah arah
hidup kalian datang dari orang-orang dengan siapa kalian bergaul, buku yang
kalian baca, dan segala sesuatu yang kalian dengar atau tonton di radio atau
televisi.”
Ritchie, Caroline, dan Amelia mendengarkan
penuh perhatian. Mereka sudah cukup lama bergaul dengan Jones untuk mengetahui
dia jarang menjawab pertanyaan dengan langsung. Selalu ada bungkusan lebih
besar yang melingkupi bongkahan kebenaran yang dibagikannya.”
“Salah satu manfaat terbesar dari
kebijaksanaan,” lanjut Jones, “adalah ketajaman akurat—kemampuan yang dipelajatri
untuk dengan cepat membedakan benar dari salah. Kebaikan dari kejahatan. Apa
yang bisa diterima dan apa yang tidak bisa diterima. Waktu yang digunakan
dengan baik dari waktu yang dibuang percuma. Keputusan yang tepat dari
keputusan yang salah. Dan sering kali hal ini semata soal memiliki perspektif
yang tepat.”
“Oke, Jones,” kata Ritchie, “kami tahu pada
akhirnya kau akan sampai pada kata favoritmu itu. Tapi, bagaimana perspektif
berhubungan dengan kebijaksanaan?”
“Ini hubungannya,” kata Jones. “Salah satu cara
untuk mendefinisikan kebijaksanaan adalah kemampuan
untuk melihat, pada masa depan,
konsekuensi atas pilihan kalian sekarang ini. Kemampuan itu bisa memberi
kalian perspektif yang sepenuhnya berbeda tentang akan terlihat seperti apa
masa depan nantinya.”
“Begini cara kerjanya dalam bentuk yang paling
mudah dipahami. Kebijaksanaan akan memungkinkan seseorang memilah helai pilihan
dengan begitu akuratnya hingga kebanyakan orang akan menyebutnya mustahil.”
Jones berbicara dalam nada rendah hingga anak-anak itu harus mencondongkan
badan ke arahnya agar bisa mendengar. Jadi, sekarang dengarkan aku—ketajaman
akurasi dalam pilihan akan segala hal adalah
suatu hal yang mungkin bagi kalian! Kalian lihat, dengan satu tingkat
kecerdasan dan isyarat kebijaksanaan, sebagian besar orang bisa membedakan baik
dan buruk. Meskipun begitu, perlu orang yang benar-benar bijak untuk melihat
garis tipis diantara baik dan buruk. Dan garis itu sobat, adalah garis yang
memisahkan bergulirnya dadu tentang masa depan kalian, dari sesuatu yang
pasti.. dari berusaha, sebagaimana kata Injil, ‘melihat melalui kaca yang
gelap’ dan memiliki perspektif yang memungkinkan kalian melihat dengan jelas
konsekuensi jangka panjang dari pilihan kalian. Bagaimana semua ini berkaitan
dengan memilih pasangan hidup? Hanya perbedaan antara pernikahan yang dilakukan
di bumi dan pernikahan yang dilakukan di langit.
“Jones, jangan tersinggung,” kata Amelia, “tapi
apa kaitannya ini dengan pertanyaan Ritchie… yang aku hampir tidak ingat lagi?”
Mereka semua tertawa termasuk Jones. “Aku tidak
tersinggung. Baiklah,” katanya. “Kebanyakan orang menganggap pernikahan adalah
komitmen—dan memang begitu—tetapi berkomitmen akan jauh lebih mudah jika kau
sudah membuat pilihan bijak untuk memulainya. Itulah sebabnya aku tahu anak
muda ini”—Jones merujuk pada Ritchie—“akan memiliki pernikahan yang lebih baik
daripada kebanyakan orang. Kenapa? Karena dia sudah mencari dan mengumpulkan
kebijaksanaan yang akan membantunya membuat keputusan sempurna.
“Sekarang,” Jones mengalihkan pandangannya pada
kipas angin di langit-langit di atas mereka dan berkata, “ mari kita gali
situasi ini sedikit lebih dalam sebelum menyaring kotoran untuk melihat tempat
kita berada.” Ia melihat ke arah Amelia. “Anak muda, kenapa orang menikah?”
Amelia langsung merona da bertanya-tanya apakah
dirinya tengah diuji. Ia membuka mulut, lalu mengatupkannya rapat-rapat.
“Ini bukan pertanyaan jebakan,” desak Jones.
“Hanya kenapa?”
“Oke… karena mereka saling menyayangi?”
“Hanya itu?”
Amelia tertawa. “Aku tidak tahu kau ingin aku
bilang apa!”
“Tidak ada jawaban salah,” kata Jones. “Kita
hanya sedang menggali di sini. Jadi, karena mereka saling menyayangi dan…?”
“Karena mereka saling menyayangi dan ingin
menghabiskan sisa hidup mereka bersama,” kata Amelia dengan cepat.
Jones beralih kepada Caroline. “Dan bagaimana
kau tahu kau cukup menyayangi seseorang untuk menikah?” Jones bertanya
kepadanya.
“Yah…,” Caroline mulai bimbang, “orang itu
adalah satu-satunya orang dengan siapa kau ingin berada di dekatnya. Kau
terus-menerus memikirkannya. Kau ingin memeluknya…”
“Kau ingin melakukan ‘itu’ dengannya” tukas
Ritchie, alisnya menari-nari. Caroline menatapnya dengan tatapan jijik.
“itu omongan ‘laki-laki’, Ritchie,” Amelia
mencemooh.
“Yeah, baiklah,” sahut Ritchie, tanpa
menunjukkan penyesalan. “aku kan laki-laki. Lanjutkan.”
“Oke, oke,” potong Jones sambil tertawa kecil.
“Sebenarnya , itu memang bagian darinya, kan? Ketertarikan fisik?” Tiga kepala
mengangguk setuju. “Tapi bagaimana kau tahu kau cukup mencintai seseorang untuk
menghabiskan sisa hidupmu
bersamanya?”
Jones menatp mata anak-anak muda itu satu per
satu. Tak seorangpun bicara.
Akhirnya, Caroline bicara, “Aku tidak pernah
benar-benar memikirkan itu…”
“Tak seorang pun yang cukup memikirkannya,” jawab
Jones, wajahnya sedih.
Sejenak ketiga sahabat itu duduk dalam
keheningan, mencerna apa yang mereka pikir baru saja laki-laki tua itu katakan
kepada mereka. Lalu Ritchie angkat bicara, “Jones, apakah maksudmu sekarang,
saat kami pacaran—saat kami masih muda—kami harus berpikir tentang dengan siapa
kami ingin mengahabiskan sisa hidup?”
“Aku tidak tahu,” jawab Jones. “Bagaimana
menurutmu? Pilihannya adalah kalian menghabiskan masa pacaran kalian saat masih
muda… dan tidak memikirkan dengan siapa kalian ingin menghabiskan sisa hidup.
Apakah itu kelihatan bijaksana bagi kalian?”
Hening.
Jones membiarkan mereka sedikit mencerna, lalu
berkata, “Berpikirlah bersama Jones yang tua ini sekarang… inilah yang terjadi
dengan sebagian besar pernikahan yang kalian tanyakan sebelumnya. Dan aku ingin
memperjelas: aku tidak bicara tentang apa yang bisa kita lakukan agar
pernikahan yang sudah ada menjadi lebih baik—dan kita tidak mencakup setiap
dasar di sini. Aku memberitahu kalian kalian satu aspek tentang apa yang setiap
hari terjadi dalam pernikahan normal: seorang laki-laki muda dan perempuan muda
saling menatap dalam ruangan yang penuh sesak, dan percikan pun muncul.”
Caroline terkikik.
“Sssttt!” Ritchie mencela. “Teruskan Jones.”
“Mereka bertemu dan langsung ‘jatuh cinta’.
Mereka tidak tahan saling berjauhan. Setiap saat mereka tidak bersama
dihabiskan untuk memikirkan yang lain.” Jones bicara dengan dramatis,
mengerjapkan matanya untuk memberikan efek. “Dan saat bersama, mereka berdua
saling begandengan tangan. Kalau saja bisa berciuman siang malam, mereka akan
melakukannya!”
“Oke, kami paham,” kata Amelia. “Mereka jatuh
cinta.”
“Ya,” Jones setuju, “mereka jatuh cinta.
Bahkan, mereka jatuh cinta begitu dalam hingga masing-masing menjadi lebih
penting bagi yang lain dibanding apapun yang lain dalam kehidupan mereka.
Kalian lihat, gadis itu sangat menyukai kuda. Sepanjang hidup, dia menunggang
kuda, membaca majalah tentang kuda, bermimpi tentang kuda-kuda yang akan
dimilikinya… tapi laki-laki muda itu alergi terhadap kuda. Dia tidak bisa
berada di dekat kuda dan tidak akan melakukannya seandainya bisa. Kuda-kuda itu
besar dan membuatnya takut. Tapi gadis itu begitu mencintai laki-laki muda itu
hingga diam-diam, tanpa seorang pun menyadari proses pemikirannya, memutuskan, Dia jauh lebih penting bagiku ketimbang
kuda! Aku tidak benar-benar membutuhkan kuda dalam kehidupanku… dan dia pin
memilih laki-laki muda itu—kekasihnya.
“Sekarang, laki-laki muda itu sama
tergila-gilanya terhadap gadis itu sebagaimana gadis itu terhadapnya. Dia
sangaaaaaaaat mencintainya.” Kata Jones, menggerakkan bibirnya sedemikian rupa
saat mengucapkan kata cinta, membuat
teman-teman belianya terkikik. “Tapi satu hal tentang dirinya,” lanjut Jones,
“adalah dia tumbuh dengan memancing. Sejak masih kecil, laki-laki muda itu
sudah memancing bersama keluarganya. Memancing dan sepak bola. Tidak ada yang
seperti itu. Kalau tidak sedang memancing, dia menonton sepak bola.”
Dan berani taruhan, gadis itu benci memancing,”
kata Ritchie.
“Tidak tahan dengannya!” Jones setuju. “Gadis
itu benar-benar bukan manusia ‘air’. Dia juga tidak suka makan ikan. Dan”—Jones
pura-pura memasang tampang ngeri—“dia menganggap sepak bola itu bodoh.”
“Ini dia…,” Amelia mulai.
“Tidak, tidak,” kata Jones. “Semua baik-baik
saja karena laki-laki muda itu sangat mencintai gadis itu. Dia bersedia
melakukan apa saja, mengorbankan apa saja, hanya agar bisa menghabiskan sisa
kehidupannya bersama gadis itu. Jadi, diam-diam tanpa seoran pun banhkan
menyadari, dia melakukannya, laki-laki
muda itu mengambil keputusan: Dia
jauh lebih penting bagiku ketimbang memancing, katanya kepada dirinya
sendiri. Aku tidak butuh memancing. Mengapa
perlu memancing ketika aku memilikinya? Dan sepak bola? Yah, aku menyukainya…
tapi itu sama sekali tidak sepenting dia.”
Jones merentangkan tangan. “Dan begitulah,”
katanya.
“Bagitulah apanya?” tanya Ritchie. “Apa? Apa
yang mereka lakukan?”
“Mereka menikah tentu saja,” Jones tertawa.
“Dan itulah jawaban untuk kenapa begitu banyak pernikahan berakhir dengan
perceraian!”
Ketiga remaja itu saling pandang dengan
bingung. Jelas, mereka semua memutuskan, tak seorang pun dari mereka mengerti
apa yang laki-laki tua itu coba sampaikan. “Jones,” kata Amelia pelan, “ kami
tidak mengerti. Apa yang terjadi? Mengapa pernikahan mereka harus berakhir
dengan perceraian? Bukankah itu yang semua orang lakukan? Berkompromi? Bukankah
memang ada sejumlah hal yang kau.. yah.. bisa hidup dengannya? Seperti apakah
mereka memencet tube pasta gigi dari jung atau dari tengah?”
Komentar
Posting Komentar