DENGAN MENIKAH kita menjadi dewasa
*TULISAN INI DIDEKASIKAN UNTUK IKHWAN YANG BELUM, AKAN, ATAU SUDAH BERNIAT MENIKAH*
Dalam sebuah majelis ada seorang pemuda bertanya, “Ustadz, saya ingin sekali menikah. Tapi saya takut dan ragu karena merasa diri saya belum dewasa. Bagaimana menurut pendapat Ustadz?”
Sang Ustadz tersenyum lalu menjawab, “Dik, justru dengan menikah orang akan menjadi dewasa. Saat masih bujangan, seorang pemuda jarang atau bahkan tidak pernah memikirkan orang lain kecuali dirinya sendiri. Oleh karenanya dia mau pulang larut malam, mau bangun tidur jam berapa, ataukah mau makan malam dengan apa, semuanya disesuaikan dengan keinginan hatinya saja.
Tapi bandingkan dengan pemuda yang sudah menikah. Dia sudah tidak lagi hanya memikirkan dirinya, melainkan juga mulai memikirkan istri dan anak-anaknya. Oleh karenanya saat dia mau pulang larut malam, dia batalkan karena ingat istri dan anak-anaknya tengah menunggu kedatangannya di rumah. Saat dia mau bangun tidur jam 8 pagi, dia batalkan karena ingat tanggung jawabnya sebagai seorang kepala keluarga yang mencari nafkah. Begitu pun saat dia mau makan malam. Dia tidak hanya memikirkan seleranya saja, melainkan juga mulai memikirkan selera istri dan anak-anaknya. Mungkin saat dia masih bujangan makan dengan sepiring nasi dan lalapan saja sudah cukup. Tapi setelah menikah, dia mulai berpikir untuk menambah menu lalapannya dengan goreng ayam, goreng tempe, dan goreng tahu demi agar istri dan anak-anaknya kenyang.
Begitu pun saat malam dia tengah tertidur nyenyak, tiba-tiba anaknya yang masih balita terbangun dan menangis. Maka dia lebih memilih bangun dan menggendong anaknya agar kembali tenang ketimbang meneruskan tidurnya dan membiarkan anaknya menangis. Itulah beberapa contoh bahwa orang yang menikah akan belajar menjadi dewasa. Dia bukan lagi hanya memikirkan kepentingan dirinya sendiri melainkan juga kepentingan istri/ suami dan anak-anaknya. Setelah menikah, dia sadar betul dan mau berkorban demi kebahagiaan istri/ suami dan anak-anaknya.”
Oleh karena itu, dewasa bukan hanya dipandang dari segi usia saja. Pada kenyataannya ada orang yang sudah berusia 25 tahun namun pola pikirnya belum dewasa, masih egois, hanya memikirkan dirinya sendiri tanpa mau peduli dengan orang lain. Tapi ada kalanya ada orang yang baru berusia 20 tahun namun pola pikirnya sudah dewasa dan matang, tidak egois, lebih suka mengalah dan memberikan haknya demi kebahagiaan orang lain.
Subhanallah! Itulah sebabnya menikah disabdakan oleh Rasulullah Saw sebagai setengah dari agama. Nikah adalah ibadah terpanjang dan terlama dalam hidup kita. Bandingkan saja dengan shalat yang hanya 5 kali dalam sehari. Puasa yang hanya 30 hari selama bulan Ramadhan. Haji yang hanya 40 hari. Tapi nikah, begitu akad nikah kita ucapkan, ”Saya terima nikahnya…,” maka terhitung sejak saat itu sampai dengan meninggalnya, nikah menjadi nilai ibadah dalam hidup kita.
Disebut ibadah karena banyak sekali pahala yang terdapat dalam nikah. Seorang suami yang memuji kecantikan istrinya sambil merayu, itu bernilai ibadah karena menyenangkan hati istri. Seorang istri yang pergi ke pasar, lalu pulang memasak menyiapkan makanan untuk suami dan anak-anaknya, itu bernilai ibadah karena melayani suami dan anak-anak. Bahkan ketika seorang suami bercumbu dengan istrinya dan melakukan hubungan suami-istri, itu pun bernilai ibadah (sedekah).
Dari Abu Dzar r.a. dia berkata: Ada sekelompok sahabat Rasulullah Saw melapor, “Wahai Rasulullah orang-orang kaya telah memborong pahala. Mereka shalat sebagaimana kami shalat, mereka berpuasa sebagaimana kami puasa, namun mereka dapat bersedekah dengan kelebihan hartanya.” Beliau bersabda, “Bukankah Allah telah menjadikan bagi kalian apa-apa yang dapat kalian sedekahkan? Sesungguhnya pada setiap tasbih ada sedekah, pada setiap tahmid ada sedekah dan pada setiap tahlil ada sedekah, menyuruh kebaikan adalah sedekah, melarang kemungkaran adalah sedekah, dan mendatangi istrimu juga sedekah.” Mereka bertanya. “Wahai Rasulullah, apakah jika seseorang memenuhi kebutuhan syahwatnya itu pun mendatangkan pahala?” Beliau bersabda, “Apa pendapatmu, bila ia menempatkan pada tempat yang haram, bukankah ia berdosa? Demikian pula bila ia menempatkan pada tempat yang halal, ia akan mendapatkan pahala.” (HR. Muslim)
Orang yang sudah menikah, memiliki banyak peluang untuk memperoleh pahala. Sedangkan orang yang belum menikah, tidak bisa mendapatkan keutamaan dan pahala yang tersedia dalam pernikahan. Apalagi kalau pacaran, tentunya lebih banyak mendatangkan mudharat daripada manfaat. Saat seorang pemuda memuji kecantikan pacarnya dan merayunya, bukan pahala yang diperolehnya melainkan dosa, karena bisa menimbulkan syahwat. Saat seorang pemuda memegang tangan pacarnya, bahkan memeluknya, bukan pahala yang diperolehnya melainkan dosa. Saat seorang pemudi menatap wajah pacarnya dalam-dalam, mengagumi ketampanan wajah pacarnya, bukan pahala yang diperolehnya melainkan dosa, karena memandang yang tidak halal baginya.
Jadi tunggu apa lagi? Bagi yang selama ini pacaran, segera bubarkan hubungan itu. Atau kalau sudah siap, segera jadikan halal dengan menikahinya. Kalau Allah Swt sudah menawarkan berbagai keutamaan dalam pernikahan, dan Rasulullah telah bersabda bahwa nikah adalah sunnahnya, mengapa kita masih ragu melaksanakannya?
Dikutip dari MAJALAH PERCIKAN IMAN edisi Agustus 09, e book risalah pernikahan-Konsep Pernikahan Dalam Islam- ( Ust. Yazid Bin Abdul Qadir Jawas )
Dalam sebuah majelis ada seorang pemuda bertanya, “Ustadz, saya ingin sekali menikah. Tapi saya takut dan ragu karena merasa diri saya belum dewasa. Bagaimana menurut pendapat Ustadz?”
Sang Ustadz tersenyum lalu menjawab, “Dik, justru dengan menikah orang akan menjadi dewasa. Saat masih bujangan, seorang pemuda jarang atau bahkan tidak pernah memikirkan orang lain kecuali dirinya sendiri. Oleh karenanya dia mau pulang larut malam, mau bangun tidur jam berapa, ataukah mau makan malam dengan apa, semuanya disesuaikan dengan keinginan hatinya saja.
Tapi bandingkan dengan pemuda yang sudah menikah. Dia sudah tidak lagi hanya memikirkan dirinya, melainkan juga mulai memikirkan istri dan anak-anaknya. Oleh karenanya saat dia mau pulang larut malam, dia batalkan karena ingat istri dan anak-anaknya tengah menunggu kedatangannya di rumah. Saat dia mau bangun tidur jam 8 pagi, dia batalkan karena ingat tanggung jawabnya sebagai seorang kepala keluarga yang mencari nafkah. Begitu pun saat dia mau makan malam. Dia tidak hanya memikirkan seleranya saja, melainkan juga mulai memikirkan selera istri dan anak-anaknya. Mungkin saat dia masih bujangan makan dengan sepiring nasi dan lalapan saja sudah cukup. Tapi setelah menikah, dia mulai berpikir untuk menambah menu lalapannya dengan goreng ayam, goreng tempe, dan goreng tahu demi agar istri dan anak-anaknya kenyang.
Begitu pun saat malam dia tengah tertidur nyenyak, tiba-tiba anaknya yang masih balita terbangun dan menangis. Maka dia lebih memilih bangun dan menggendong anaknya agar kembali tenang ketimbang meneruskan tidurnya dan membiarkan anaknya menangis. Itulah beberapa contoh bahwa orang yang menikah akan belajar menjadi dewasa. Dia bukan lagi hanya memikirkan kepentingan dirinya sendiri melainkan juga kepentingan istri/ suami dan anak-anaknya. Setelah menikah, dia sadar betul dan mau berkorban demi kebahagiaan istri/ suami dan anak-anaknya.”
Oleh karena itu, dewasa bukan hanya dipandang dari segi usia saja. Pada kenyataannya ada orang yang sudah berusia 25 tahun namun pola pikirnya belum dewasa, masih egois, hanya memikirkan dirinya sendiri tanpa mau peduli dengan orang lain. Tapi ada kalanya ada orang yang baru berusia 20 tahun namun pola pikirnya sudah dewasa dan matang, tidak egois, lebih suka mengalah dan memberikan haknya demi kebahagiaan orang lain.
Subhanallah! Itulah sebabnya menikah disabdakan oleh Rasulullah Saw sebagai setengah dari agama. Nikah adalah ibadah terpanjang dan terlama dalam hidup kita. Bandingkan saja dengan shalat yang hanya 5 kali dalam sehari. Puasa yang hanya 30 hari selama bulan Ramadhan. Haji yang hanya 40 hari. Tapi nikah, begitu akad nikah kita ucapkan, ”Saya terima nikahnya…,” maka terhitung sejak saat itu sampai dengan meninggalnya, nikah menjadi nilai ibadah dalam hidup kita.
Disebut ibadah karena banyak sekali pahala yang terdapat dalam nikah. Seorang suami yang memuji kecantikan istrinya sambil merayu, itu bernilai ibadah karena menyenangkan hati istri. Seorang istri yang pergi ke pasar, lalu pulang memasak menyiapkan makanan untuk suami dan anak-anaknya, itu bernilai ibadah karena melayani suami dan anak-anak. Bahkan ketika seorang suami bercumbu dengan istrinya dan melakukan hubungan suami-istri, itu pun bernilai ibadah (sedekah).
Dari Abu Dzar r.a. dia berkata: Ada sekelompok sahabat Rasulullah Saw melapor, “Wahai Rasulullah orang-orang kaya telah memborong pahala. Mereka shalat sebagaimana kami shalat, mereka berpuasa sebagaimana kami puasa, namun mereka dapat bersedekah dengan kelebihan hartanya.” Beliau bersabda, “Bukankah Allah telah menjadikan bagi kalian apa-apa yang dapat kalian sedekahkan? Sesungguhnya pada setiap tasbih ada sedekah, pada setiap tahmid ada sedekah dan pada setiap tahlil ada sedekah, menyuruh kebaikan adalah sedekah, melarang kemungkaran adalah sedekah, dan mendatangi istrimu juga sedekah.” Mereka bertanya. “Wahai Rasulullah, apakah jika seseorang memenuhi kebutuhan syahwatnya itu pun mendatangkan pahala?” Beliau bersabda, “Apa pendapatmu, bila ia menempatkan pada tempat yang haram, bukankah ia berdosa? Demikian pula bila ia menempatkan pada tempat yang halal, ia akan mendapatkan pahala.” (HR. Muslim)
Orang yang sudah menikah, memiliki banyak peluang untuk memperoleh pahala. Sedangkan orang yang belum menikah, tidak bisa mendapatkan keutamaan dan pahala yang tersedia dalam pernikahan. Apalagi kalau pacaran, tentunya lebih banyak mendatangkan mudharat daripada manfaat. Saat seorang pemuda memuji kecantikan pacarnya dan merayunya, bukan pahala yang diperolehnya melainkan dosa, karena bisa menimbulkan syahwat. Saat seorang pemuda memegang tangan pacarnya, bahkan memeluknya, bukan pahala yang diperolehnya melainkan dosa. Saat seorang pemudi menatap wajah pacarnya dalam-dalam, mengagumi ketampanan wajah pacarnya, bukan pahala yang diperolehnya melainkan dosa, karena memandang yang tidak halal baginya.
Jadi tunggu apa lagi? Bagi yang selama ini pacaran, segera bubarkan hubungan itu. Atau kalau sudah siap, segera jadikan halal dengan menikahinya. Kalau Allah Swt sudah menawarkan berbagai keutamaan dalam pernikahan, dan Rasulullah telah bersabda bahwa nikah adalah sunnahnya, mengapa kita masih ragu melaksanakannya?
Dikutip dari MAJALAH PERCIKAN IMAN edisi Agustus 09, e book risalah pernikahan-Konsep Pernikahan Dalam Islam- ( Ust. Yazid Bin Abdul Qadir Jawas )
Komentar
Posting Komentar