Geser Perspektif Cinta #1 (3 Bagian)
Seperti janji saya tempo hari, saya akan menuliskan sebuah cerita tentang cinta, dan menegaskan bagian "apakah ketertarikan fisik itu penting dalam membangun hubungan cinta?"
Langsung saja mari kita ke bagian awal dari cerita ini,
Langsung saja mari kita ke bagian awal dari cerita ini,
“Kau kenal Jones?” tanya Robert Craft kepadaku
saat aku berdiri di anak tangga clubhouse.
Robert adalah pemilik Craft Farms, salah satu club golf terbaik di Gulf Coast,
dan tempat yang aku datangi hari ini untuk makan siang.
“Ya,” Jawabku, melihat sekilas ke bawah gedung
ke tempat Jones berdiri dengan kaki di atas kopernya, dikelilingi anak-anak
muda. Anak-anak muda laki-laki dan perempuan, sebagian besar kelihatannya
berumur akhir belasan atau awal dua puluhan. Mereka sedang tertawa,
memperhatikan setiap kata laki-laki tua itu. “Siapa anak-anak itu?”
“Penjaga tas, pelayan di restoran, pemelihara
lapangan rumput…. Kau sedang menatap semua anak muda yang bekerja di sini yang
sedang tidak perlu melakukan hal lain saat ini.” Robert menyeringai dan
menambahkan, “Dan barang kali beberapa yang sebenarnya harus melakukan hal
lain.”
“Bagaimana kau kenal dengan Jones?” tanyaku pada Robert.
“Ayahku kenal dia,” jawabnya, masih sambil menatap sekumpulan anak muda
yang mengelilingi laki-laki tua itu. “Sebelum Ayah bertemu Ibu, Jones
membantunya keluar dari suatu masalah.” Robert berpaling kepadaku. “Itu bukan
sesuatu yang besar, kau tahu. Salah satu hal ‘ini dia cara lain melihatnya’,
tapi ayah tidak pernah melupakan cara itu – ataupun Jones.”
“Kau sering bertemu dengannya?” tanyaku.
Wajah Robert menjadi aneh. “Apakah kau sering
bertemu dengannya?” ia balik bertanya.
“Aku yang bertanya lebih bulu,” kataku, dan
kami berdua tertawa.
Kembali menatap laki-laki tua itu, Robert
berkata, “Suatu kali aku bertanya kepada Ayah seperti apa wajah Jones saat
masih muda. Ayah bilang wajahnya sama seperti itu.” Robert menyentakkan ibu
jarinya ke arah Jones. Lalu, teringat akan pertanyaanku, ia menambahkan,
“Kurasa aku seudah bertemu dengannya… oh, dalam hidupku sepuluh atau dua belas
periode berbeda dalam hidupku.”
“Apa maksudmu dengan ‘periode’?”
Kau tahu… dia tinggal sementara waktu, lalu
pergi sementara waktu.. seperti itu.” Ia menjentikkan jari-jarinya. “Kadangdia
pergi begitu lama hingga aku lupa akan dirinya. Tapi dia selalu kembali.”
Robert melayangkan tatapannya melewati fairway kedelapan belas. “Kau tahu,
Ayah yang memulai ini,” katanyadengan lengan merentang lebar melewati lanskap.
Sebelum menjadi lapangan golf, dulu ini padang gladiola. Ketika aku mengambil
alih beberapa tahun lalu, Ayah memberitahuku agar memberikan tempat untuk
laki-laki tua itu di sini.”
“Oh, ya?”
“Hm-hm. Dia tidak bermain golf. Hanya
berkeliaran dan berbicara dengan orang-orang. Kadang aku melihatnya di ruang
makan atau di luar di dekat lapangan – dalam perbincangan serius dengan seseorang atau orang lain. Aku
tidak tahu dia tidur di mana. Atau dalam hal ini, apakah dia memang tidur. Dia tidak pernah tidur di sekitar sini.”
“Kami berusaha menggratiskan makanannya.”
Robert melanjutkan. “Tapi dia selalu membayar. Pemberi tip yang besar juga,
kata staf pelayan. Aku tidak tahu darimana dia dapat uang , tapi kurasa dia
menyimpannya dalam koper itu. Tuhan tahu, tidak mungkin ada baju di dalam sana…
dia selalu memakai pakaian yang sama.”
Tawa kembali meledak dari kelompok yang
mengelilingi laki-laki tua. Robert tersenyum dan menggelengkan kepala. “Mereka
menyayanginya.”
Penasaran, aku pun bertanya, “Apakah kau
keberatan dia ada di sini? Kau tahu, dia tidak terlihat seperti tipe orang yang
bermain golf.” Lalu aku beralih ke para pegawai Robert. “Apakah dia menyita
terlalu banyak waktu mereka?”
“Harus ku katakan kepadamu,” kata Robert,
“kalau aku bisa menemukan cara untuk membuat laki-laki tua tua itu tinggal di
sini, aku akan melakukannya. Anak-anak ini serasa melayang setelah bicara
dengannya. Mereka menjadi lebih baik. Mereka menjadi lebih tajam – dalam segala
hal. Anak laki-lakiku—kau tahu Mitch—bercerita kepadaku bahwa Jones menasehati
mereka—hanya hal-hal kecil—tapi mereka mendengarkan, dan nasihat laki-laki itu
manjur.” Ia menggeleng-gelengkan kepala keheranan. “Kapan kau pernah
melihatsegerombolan anak tertarik pada laki-laki tua eksentrik tua seperti
itu?” lau ia menambahkan, “Dan apakah kau sudah mendengar omongan orang di
sekitar kota? Bukan hanya anak-anak. Orang-orang berusaha menemukannya,
mencarinya. Dan kau kenal Jones; dia akan bicara dengan siapa saja.” Robert
berhenti sejenak, berpikir. “Kali ini dia tinggal lebih lama, kurasa,” katanya
pada akhirnya.
Jones melihat ke arah kami, melihat kami,
melambaikan tangan, dan terus bicara dengan anak-anak muda itu. Aku juga
menggeleng-gelengkan kepala dengan heran, lalu dengan lembut, hanya cukup keras
untuk Robert dengar, berkata, “Jones.”
“Bukan Mr. Jones,” Sahut Robert bercanda.
“Oh, tidak,” Kataku sambil terkekeh. “Hanya
Jones.”
Saat aku mengulurkan tangan kepada Robert untuk
bersalaman karena akan berpisah, ia berkata, “Aku tahu, ayah tidak memanggilnya
Jones.”
“Benarkah?” kataku. “Bagaimana dia
memanggilnya?”
“Yah, Ayah bertemu dengannya ketika dia datang bersama
para pekerja migran—memetik gladiola—dan Ayah memanggilnyasebagaimana mereka
memanggilnya saat itu, dan masih mereka lakukan hingga sekarang. Mereka
memanggilnya Garcia.”
Jones sudah mengucapkan salam
perpisahan kepada sebagian besar anak-anak itu, yang entah sudah kembali ke mobil mereka di
lapangan parkir atau kembali bekerja. Tapi, saat beranjak menuju rindangnya
teras clubhouse yang berada di atas
danau, ia melihat tiga dari anak-anak muda itu belum pergi.
“Kau mau kemana Jones?” tanya Caroline, gadis
jangkung di sebelahnya. “Kau mau Coke?” tanyanya. “Kalian?” tanyanya kepada
yang lain, lalu tanpa menunggu jawaban berkata, “Empat Coke,” dan menuju
clubhouse.
Caroline gadis berambut panjang berwarna merah.
Ia lebih tinggi daripada Jones, secara umum cantik, seorang siswi senior SMA,
dan salah satu anak yang paling populer di wilayah itu. Ayah Caroline seorang
bankir hipotek, sementara ibunya aktif dalam masyarakat—keluarga itu seolah
memiliki semuanya.
Saat berjalan menuju teras, Jones melihat
sekilas ke arah Amelia, sahabat Caroline, yang berjalan di sebelahnya. Amelia ,
seorang mahasiswi tingkat dua yang pulang saat liburan musim semi, dua tahun
lebih tua daripada Caroline. Amelia mengambil kuliah seni liberal dengan
sejarah keluarga yang disebutnya “kelabu”. Di sebelah Amelia adalah Ritchie
Weber, remaja tujuh belas tahun yang tampan.
Kelompok kecil itu menaiki teras dan berjalan ke
belakang, menjauhi pintu masuk. Jones meletakkan badannya di salah satu kursi
kursi goyang putih seperti yang dilakukan Amelia di sebelahnya. Tak lama
kemudia Caroline datang, membagikan minuman ringan, lalu duduk di lantai teras
yang terbuat dari kayu. Ritchie bertengger di atas jeruji, membelakangi danau.
“Kau ingin bicara apa, Jones?” tanya Ritchie.
Kulit anak muda itu gelap berwarna moka, berkilat terkena pancaran matahari
sore, dan wajahnya yang bersih serta giginya yang rapi membuatnya terlihat
seperti aktor ataumodel. Luar biasa cerdas, Ritchie memfokuskan perhatiannya
dalam bidang akademis, menjauhkan diri dari olahraga biasa (kecuali gof).
Dengan IPK-nya yang tnggi, ia sudah memastikan diri mendapatkan beasiswa penuh
di musim gugur.
“Aku?” Jones menjawab Ritchie, dengan nada
polos palsu. “Aku tidak ingin bicara tentang apapun. Aku datang ke sini untuk tidur
siang sebentar!”
“Ayolah!” goda Caroline, menimpuk laki-laki tua
itu dengan sandal pink di kakinya. “Kau tahu kau ingin kami di sini. Kau
menyangi kami. Jadi…., bicaralah, Jones!”
Laki-laki tua itu tertawa kecil dan menyesap
minumannya. “Oke, ayo kita bicara. Tapi kalian yang mulai. Anak Muda,” Jones
mengangkat cangkir styrofoam-nya
kepada Ritchie, “kau dulu, bertanyalah.”
“Oke,” kata Ritchie bersemangat, “ini dia:
bagaimana caramu menjaga pernikahan agar tidak berakhir dengan perceraian?”
Jones pura-pura terkejut. “Wow!” katanya.
“Tidak ada yang mudah darimu! Bagaimana kalau, ‘ apa yang akan cubs lakukan
tahun ini?’ atau ‘Kapan ikan trout
akan mulai menggigit?’”
Ritchie hanya menunggu penuh harap.
“itu subyekmu?” tanya Jones pada akhirnya. “Kau
yakin?”
“Yakin.” Sahut Ritchie.
Jones menghela napas dalam-dalam lalu
menghembuskannya. “Oke…, apakah kau sudah menikah?”
Kedua gadis itu terkikik.
“Jones!” kata Ritchie hampir berteriak. “Kau
tahu aku belum menikah.”
“tapi dia punya pacar,” goda Caroline.
“Kalau kau belum menikah,” tanya Jones tanpa
menyiratkan jebakan licik “Mengapa kau peduli dengan cara menjaga pernikahan
agar tidak berakhir dengan perceraian?”
Ritchie mengangkat bahu. “Orangtuaku sepertinya
adalah satu-satunya pasangan yang aku tahu tetap bertahan dengan pasangan
pertama mereka…”
“Orangtuaku juga,” tukas Caroline.
“Oke,” Ritchie mengoreksi, “berarti orangtuaku
dan orantuamu. Bagaimanapun, banyak sekali laki-laki dan perempuan yang menikah
saat masih cukup muda… orang-orang yang kita kenal.” Ia memandang kedua
temannya meminta persetujuan, dan mereka mengangguk. “Tapi kelihatannya
beberapa tahun kemudian mereka semua bercerai,” lanjutnya. “Jadi, untuk
mempersingkat cerita, alasanku menanyakan cara menjaga pernikahan agar tidak
berakhir dengan perceraian adalah pasti
ada sesuatu yang bisa kita pelajari saat berkencan! Maksudku, kuharap ada!”
to be continued
to be continued
Komentar
Posting Komentar