Ibu itu adalah Pembohong (Dikopas dari Kaskus)
Cerita ini bermula ketika saya masih kecil. Saya lahir sebagai seorang anak lelaki dalam sebuah keluarga sederhana. Makan minum serba kekurangan....
KEBOHONGAN IBU YANG PERTAMA
Kami
sering kelaparan. Adakalanya, selama beberapa hari kami terpaksa makan
ikan asin satu keluarga. Sebagai anak yang masih kecil, saya sering
merengut. Saya menangis, ingin nasi dan lauk yang banyak. Tapi ibu
pintar berbohong. Ketika makan, ibu sering membagikan nasinya untuk
saya. Sambil memindahkan nasi ke mangkuk saya, ibu berkata : “”Makanlah nak ibu tak lapar.”
KEBOHONGAN IBU YANG KEDUA
Ketika
saya mulai besar, ibu yang gigih sering meluangkan watu senggangnya
untuk pergi memancing di sungai sebelah rumah. Ibu berharap dari ikan
hasil pancingan itu dapat memberikan sedikit makanan untuk membesarkan
kami. Pulang dari memancing, ibu memasak ikan segar yang mengundang
selera. Sewaktu saya memakan ikan itu, ibu duduk di samping kami dan
memakan sisa daging ikan yang masih menempel di tulang bekas sisa ikan
yang saya makan tadi.Saya sedih melihat ibu seperti itu. Hati saya
tersentuh lalu memberikan ikan yg belum saya makan kepada ibu. Tetapi
ibu dengan cepat menolaknya. Ibu berkata : “Makanlah nak, ibu tak suka makan ikan.”
KEBOHONGAN IBU YANG KETIGA
Di
awal remaja, saya masuk sekolah menengah. Ibu biasa membuat kue untuk
dijual sebagai tambahan uang saku saya dan abang. Suatu saat, pada
dinihari lebih kurang pukul 1.30 pagi saya terjaga dari tidur. Saya
melihat ibu membuat kue dengan ditemani lilin di hadapannya. Beberapa
kali saya melihat kepala ibu terangguk karena ngantuk. Saya berkata :
“Ibu, tidurlah, esok pagi ibu kan pergi ke kebun pula.” Ibu tersenyum dan berkata : “Cepatlah tidur nak, ibu belum ngantuk.”
KEBOHONGAN IBU YANG KEEMPAT
Di
akhir masa ujian sekolah saya, ibu tidak pergi berjualan kue seperti
biasa supaya dapat menemani saya pergi ke sekolah untuk turut
menyemangati. Ketika hari sudah siang, terik panas matahari mulai
menyinari, ibu terus sabar menunggu saya di luar. Ibu seringkali saja
tersenyum dan mulutnya komat-kamit berdoa kepada allah agar saya lulus
ujian dengan cemerlang. Ketika lonceng berbunyi menandakan ujian sudah
selesai, ibu dengan segera menyambut saya dan menuangkan kopi yang
sudah disiapkan dalam botol yang dibawanya. Kopi yang kental itu tidak
dapat dibandingkan dengan kasih sayang ibu yang jauh lebih kental.
Melihat tubuh ibu yang dibasahi peluh, saya segera memberikan cawan
saya itu kepada ibu dan menyuruhnya minum. Tapi ibu cepat-cepat menolaknya dan berkata : “Minumlah nak, ibu tak haus!!”
KEBOHONGAN IBU YANG KELIMA
Setelah
ayah meninggal karena sakit, selepas saya baru beberapa bulan
dilahirkan, ibulah yang mengambil tugas sebagai ayah kepada kami
sekeluarga. Ibu bekerja memetik cengkeh di kebun, membuat sapu lidi dan
menjual kue-kue agar kami tidak kelaparan. Tapi apalah daya seorang
ibu. Kehidupan keluarga kami semakin susah dan susah. Melihat keadaan
keluarga yang semakin parah, seorang tetangga yang baik hati dan
tinggal bersebelahan dengan kami, datang untuk membantu ibu. Anehnya,
ibu menolak bantuan itu… Para tetangga sering kali menasihati ibu
supaya menikah lagi agar ada seorang lelaki yang menjaga dan mencarikan
nafkah untuk kami sekeluarga.. Tetapi ibu yang keras hatinya tidak
mengindahkan nasihat mereka. Ibu berkata : “Saya tidak perlu cinta dan saya tidak perlu laki-laki.”
KEBOHONGAN IBU YANG KEENAM
Setelah
kakak-kakak saya tamat sekolah dan mulai bekerja, ibu pun sudah tua.
Kakak-kakak saya menyuruh ibu supaya istirahat saja di rumah. Tidak
lagi bersusah payah untuk mencari uang. Tetapi ibu tidak mau. Ibu rela
pergi ke pasar setiap pagi menjual sedikit sayur untuk memenuhi
keperluan hidupnya. Kakak dan abang yang bekerja jauh di kota besar
sering mengirimkan uang untuk membantu memenuhi keperluan ibu, pun
begitu ibu tetap berkeras tidak mau menerima uang tersebut. Malah ibu
mengirim balik uang itu, dan ibu berkata : “Jangan susah-susah, ibu ada uang.”
KEBOHONGAN IBU YANG KETUJUH
Setelah
lulus kuliah, saya melanjutkan lagi untuk mengejar gelar sarjana di
luar negeri. Kebutuhan saya di sana dibiayai sepenuhnya oleh sebuah
perusahaan besar. Gelar sarjana itu saya sudahi dengan cemerlang,
kemudian saya pun bekerja dengan perusahaan yang telah membiayai
sekolah saya di luar negeri. Dengan gaji yang agak lumayan, saya
berniat membawa ibu untuk menikmati penghujung hidupnya bersama saya di
luar negeri. Menurut hemat saya, ibu sudah puas bersusah payah untuk
kami. Hampir seluruh hidupnya habis dengan penderitaan, pantaslah kalau
hari-hari tuanya ibu habiskan dengan keceriaan dan keindahan pula.
Tetapi ibu yang baik hati, menolak ajakan saya. Ibu tidak mau menyusahkan anaknya ini dengan berkata : “Tak usahlah nak, ibu tak bisa tinggal di negara orang.”
KEBOHONGAN IBU YANG KEDELAPAN
Beberapa
tahun berlalu, ibu semakin tua. Suatu malam saya menerima berita ibu
diserang penyakit kanker di leher, yang akarnya telah menjalar
kemana-mana. Ibu mesti dioperasi secepat mungkin. Saya yang ketika itu
berada jauh diseberang samudera segera pulang untuk menjenguk ibunda
tercinta. Saya melihat ibu terbaring lemah di rumah sakit, setelah
menjalani pembedahan. Ibu yang kelihatan sangat tua, menatap wajah saya
dengan penuh kerinduan. Ibu menghadiahkan saya sebuah senyuman
biarpun agak kaku karena terpaksa menahan sakit yang menjalari setiap
inci tubuhnya. Saya dapat melihat dengan jelas betapa kejamnya penyakit
itu telah menggerogoti tubuh ibu, sehingga ibu menjadi terlalu lemah
dan kurus.
Saya menatap wajah ibu sambil
berlinangan air mata. Saya cium tangan ibu kemudian saya kecup pula
pipi dan dahinya. Di saat itu hati saya terlalu pedih, sakitsekali
melihat ibu dalam keadaan seperti ini. Tetapi ibu tetap tersenyum dan berkata : “Jangan menangis nak, ibu tak sakit.” Setelah mengucapkan pembohongan yang kedelapan itu, ibunda tercinta menutup matanya untuk terakhir kali.
MARI KITA BAHAGIAKAN IBU KITA SEBELUM DIA MENUTUP MATANYA UNTUK TERAKHIR KALI,.
Komentar
Posting Komentar