Geser Perspektif Cinta #3 (3 Bagian) selesai

(Lanjutan)
Jones tersenyum dan menepuk tangan Amelia. Lalu ia berdiri dan memberi isyarat agar Ritchie mengambil kursinya. Bersandar pada jeruji teras, dengan punggung menghadap danau sehingga ia bisa melihat ketiga anak itu sekaligus, laki-laki tua itu tersenyum lembutdan berkata, “Ya, kalau masalahnya sesederhana tube pasta gigi, barang kali tidak akan ada masalah. Lihat… kedua orang itu saling jatuh cinta sedemikian rupa dan membiarkan ketertarikan fisik merobohkan hal-hal lain yang menghalanginya. Jangan salah mengerti: Aku tidak bilang ketertarikan fisik itu tidak penting—itu penting. Tapi kalian bisa secara fisik tertarik kepada banyak orang. Kalian tidak percaya? Nyalakan TV atau berjalanlah menyusuri pantai.
“Ini maksudku. Di suatu tempat di sepanjang perjalanan, pasti ada sesuatu untuk dibagi ketika ketertarikan fisik tidak ada dalam pikiran kalian dua puluh empat jam sehari, karena inilah yang terjadi: setelah tiga bulan atau tiga tahun—kadang, kalian bisa pastikan itu—hal-hal fisik tidak akan menjadi sesuatu yang mutlak, nomor satu, paling penting dalam kehidupan pasangan. Akan ada hal-hal lain yang juga mulai menjadi penting. Sekarang, banyak perempuan muda pada titik ini mulai berpikir, astaga! Apakah seumur hidup hidupku aku tidak akan pernah menunggang kuda lagi?. Dan para laki-laki muda mulai berpikir, Ya ampun! Apakah aku benar-benar mau tidak memancing lagi seumur hidupku? Bisakah aku tidak pernah lagi menonton sepak bola? Dalam kehidupanku?”
Caroline, Amelia, dan Ritchie masih membisu. Mereka paham, tapi Jones menegaskan semuanya. “Tak lama kemudian,” ia menyimpulkan, “Laki-laki di kantor, dengan gambar kuda di dinding, menjadi pendengar yang baik bagi perempuan muda itu. Gadis pelayan di restoran, yang imut dan selalu tahu tentang skor sepak bola, memahami masalah laki-laki muda itu… Tidak seorang pun dengan sengaja melakukannya. Tapi ingat, kau bisa tertarik kepada banyak orang.”

“Itu gambaran yang cukup menyedihkan, Jones,” kata Amelia. “Astaga…”
“Terjadi setiap hari,” kata laki-laki tua itu sambil mendesah. “Meskipun begitu, tidak perlu terjadi pada kalian.”
“Bagaimana kami bisa menghindarinya?” tanya Caroline.
“Yah, hei,” kata Ritchie, “Itu cukup jelas, kan? Maksudku, hati-hati saja agar tidak jatuh cinta atau bernafsu atau apa pun dengan seseorang yang kau tidak ingin bersamanya.”
“Yeah, tapi menurutku tidak sesederhana itu,” kata Amelia. “Ingat, Jones bilang laki-laki dan perempuan itu diam-diam memutuskan akan berkompromi tanpa seorang pun mereka melakukannya. Dan ada pula fakta kita kadang-kadang menyembunyikan diri dari yang sebenarnya. Bagaimana kalau pacarku tidak pernah bilang kepadaku dia tidak suka kuda?”
Lagi-lagi mereka semua melihat ke arah Jones. Ia mengangkat bahu dan berkata, “Yah, tentu saja, orang selalu rentan terhadap penipu yang piawai, tapi terlepas dari itu, sebagian besar diantara kita punya saringan luar biasa yang memungkinkan kita menentukan apakah seorang laki-laki atau perempuan muda cocok sebagai calon pasangan hidup.”
“Sarigan apa?” tanya Caroline.
“Teman-teman kalian,” jawab Jones singkat. “Keluarga kalian juga, tentunya, tapi tidak ada yang menyaring orang sebagaimana teman.”
“Jelaskan,” pinta Ritchie.
“Anehnya, hal itu biasanya bekerja berkebalikan dengan adanya apa yang kebanyakan dari kita harapkan. Sebagai contoh, Anak Muda,” kata Jones kepada Ritchie, “Kau mungkin berpikir, maksudku, teman-temanmu harus memberikan penilaian terhadap pacarmu. Benar?”
Ritchie melihat ke arah kedua gadis itu, yang wajah mereka mengisyaratkan bahwa itu juga yang mereka asumsikan. “Ehm.., ya. Kupikir seperti itulah maksudku.”
“Bukan!” kata Jones. “Apa yang menjadi ketertarikanmu adalah apakah dia menyukai teman-temanmu atau tidak! Sekarang dengan berasumsi kau bergaul dengan orang-orang baik, teman-teman yang bijak, apakah dia mendorongmu berpartisipasi dalam aktivitasmu bersama teman-temanmu? Apakah dia menikmati menjadi bagian dari kelompok itu? Apakah dia cocok? Atau, apakah dia berusaha menjauhkanmu dari teman-temanmu? Apakah dia ingin menguasaimu sendiri, bersamanya sepanjang waktu?”
“Aku bisa memastikan satu hal kepada kalian, Anak-anak Muda,” kata Jones kepada mereka bertiga. “Kalau pacar kalian terus-menerus berusaha menguasai kalian sendiri dan menjauhkan kalian dari keluarga serta teman-teman kalian, ada yang salah. Itu adalah daun besar yang harus kalian perhatikan.”
“Apa besar?” tanya Amelia. “Daun?”
Jones berhenti untuk menjelaskan. “Ya, daun. Daun adalah indikator. Seseorang bisa saja berjalan menembus hutan dan tidak pernah melihat ke atas. Tapi kalian bisa memungut satu daun dan mengetahui segala bentuk informasi tentang pohon yang menaungi kalian. Dengan mengamati satu daun, kalian bisa tahu saat itu sedang musim apa, apakah pohon itu besar atau kecil, apakah dia beracun ataukah menghasilkan buah yang bisa dimakan… yah, kalian bisa tahu banyak tentang suatu pohon dari sehelai daun.”
“Kalian juga bisa tahu banyak tentang seseorang dari dedaunan yang dijatuhkannya. Kalian tidak perlu berlama-lama didekat seseorang untuk tahu seperti apa kehidupannya. Kalian bisa mengamati daun yang sekali-sekali mereka jatuhkan. Percaya padaku, daun itu akan mengatakan semuanya.”
“Wow,” kata Amelia. “Kalau semua ini benar—dan aku tidak meragukan semua ini memang benar—berarti aku benar-benar perlu putus dari pacarku.”
“Lebih baik sekarang daripada nanti. Benar kan, Jones?” kata Ritchie.
Jones tidak berkata apa-apa.
“Pacarmu kuliah juga?” tanya Caroline.
Amelia mengangguk tidak bahagia.
“Apakah teman-temanmu menyukainya?”
“Kan bukan itu masalahnya,” kata Ritchie. “Ingat?”
“Aku tahu” jawab Caroline. “Aku Cuma.. kau tahu…”
“Sebenarnya,” Amelia menawarkan, “Aku tidak benar-benar tahu apa pendapat teman-temanku mengenainya. Maksudku yang benar-benar…”
“Teman-teman kita tidak selalu berterus terang tentang masalah ini,” kata Jones. “Sering kali mereka tidak ingin menyakiti perasaan kita, atau mungkin kita menyaring keluarnya komentar negatif karena ketertarikan buta kita terhadap pacar kita. Meskipun begitu, sahabat sejati akan jujur kepada kalian, kalau kalian memintanya. Bersiap saja untuk mendengarkan. Kadang kita mengabaikan dedaunan yang menumpuk di bawah kaki kita, sementara sahabat sejati telah berusaha mengambil beberapa.”
“Semua ini kelihatannya sangat sulit,” kata Caroline sedih.
“Tidak, anak muda” sahut Jones, “benar-benar tidak sulit. Hanya berbeda. Sedikit berpikirlah dengan cara ini, dan itu akan menjadi hal yang paling alami di dunia. Kalian ingat definisi kita tentang kebijaksanaan? Kemampuan untuk melihat, pada masa depan, konsekuensi atas pilihan sekarang ini. Keluarga kalian, teman-teman kalian, mereka ditempatkan ke dalam kehidupan kalian karena suatu alasan.  Mereka bisa membantu kalian mendapatkan perspektif atas situasi apa pun yang kalian sedang alami. Mereka adalah sumber daya. Perhatikan.”
Jones mengulurkan tangan, meraih tangan Caroline dan membuatnya berdiri. Amelia berdiri, dan Ritchie menyodorkan tangan kanannya ke arah Jones. Waktu mereka sudah habis.
“Satu pertanyaan lagi,” kata Ritchie saat menjabat tangan laki-laki tua itu. Alis Jones terangkat mengantisipasi. “Kau kenal Emilio, kan? Anak yang bekerja dengan kru lapangan rumput?”
“Yeah,” jawab Jones.
“Kenapa dia memanggilmu Garcia?”
Jones tersenyum lebar. “Mengapa tidak? Memangnya aku tidak terlihat seperti orang Hispanik bagimu?”
“Sejujurnya,” kata Ritchie, “aku selalu mengira kau berkulit hitam.”
“Memangnya itu akan membuat perbedaan?” tanya Jones, mengalihkan pandangan dari Ritchie ke Caroline ke Amelia.
“Yah…, tidak.”
“Tidak.”
“Tentu saja tidak.”
Jones tersenyum lebar. “Pergilah kalian, kalau begitu,” katanya, saat ia berhenti di teras lalu berjalan melintasi lapangan parkir.
--The End--

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[REKOMENDASI] 100 TEMPAT MAKAN ENAK di JAKARTA

Jangan mengukur sepatu orang lain dengan kaki kita